Aceh melekat dalam ingatan kita saat ini karena dua bencana dahsyat – gempa dan tsunami terburuk sepanjang catatan sejarah modern pada Desember 2004, dan gerakan separatis yang terus menggerogoti Indonesia sepanjang sejarah sejak merdeka. Meskipun muncul dari proses pemulihan dua trauma tersebut, buku ini mengacu pada sisi Aceh yang lebih positif namun terabaikan dari perhatian kita, yakni sebagai kerajaan maritim Asia Tenggara yang sangat berhasil dan dengan cerdik mempertahankan kemerdekaannya hingga tahun 1874. seperti Burma, Siam, dan Vietnam, semua terlindungi oleh posisi geografis masing-masing, Aceh memiliki riwayatnya sendiri sebagai sekelompok masyarakat berbudaya unik yang berjuang untuk mempertahankan diri dari dominasi kolonial Eropa.
Sayangnya sumber-sumber sejarah ini tercecer di mana-mana karena catatan-catatan milik Aceh sendiri tidak ditemukan, hancur termakan cuaca tropis yang ganas, perang sipil dan tentunya akibat penjajahan oleh kekuatan asing. Untuk memulihkan catatan sejarah yang luar biasa ini, berbagai sumber dan keahlian khusus harus disinergikan dalam satu usaha yang menguras tenaga. Peran sentral Aceh dalam literatur Melayu yang terlepas dari pengaruh Arab, Persia, India, dan budaya Nusantara harus diteliti dari beberapa teks yang masih bertahan, tetapi tersebar di beberapa perpustakaan di berbagai belahan dunia . Catatan sejarah Nusantara yang dikesampingkan selama konflik berkepanjangan harus dipelajari lagi , dan hubungan erat antara Kesultanan Aceh dengan Turki Usmani , Portugis , Inggris , dan Belanda harus dieksplorasi, terutama pada arsip-arsip Eropa oleh para-para ahli di bidang masing-masing. Hasil dari usaha itu semua terangkum dalam buku ini menjadi sumber-sumber yang paling lengkap selama ini mengenal sejarah Aceh.
Aceh melekat dalam ingatan kita saat ini karena dua bencana dahsyat – gempa dan tsunami terburuk sepanjang catatan sejarah modern pada Desember 2004, dan gerakan separatis yang terus menggerogoti Indonesia sepanjang sejarah sejak merdeka. Meskipun muncul dari proses pemulihan dua trauma tersebut, buku ini mengacu pada sisi Aceh yang lebih positif namun terabaikan dari perhatian kita, yakni sebagai kerajaan maritim Asia Tenggara yang sangat berhasil dan dengan cerdik mempertahankan kemerdekaannya hingga tahun 1874. seperti Burma, Siam, dan Vietnam, semua terlindungi oleh posisi geografis masing-masing, Aceh memiliki riwayatnya sendiri sebagai sekelompok masyarakat berbudaya unik yang berjuang untuk mempertahankan diri dari dominasi kolonial Eropa.
Sayangnya sumber-sumber sejarah ini tercecer di mana-mana karena catatan-catatan milik Aceh sendiri tidak ditemukan, hancur termakan cuaca tropis yang ganas, perang sipil dan tentunya akibat penjajahan oleh kekuatan asing. Untuk memulihkan catatan sejarah yang luar biasa ini, berbagai sumber dan keahlian khusus harus disinergikan dalam satu usaha yang menguras tenaga. Peran sentral Aceh dalam literatur Melayu yang terlepas dari pengaruh Arab, Persia, India, dan budaya Nusantara harus diteliti dari beberapa teks yang masih bertahan, tetapi tersebar di beberapa perpustakaan di berbagai belahan dunia . Catatan sejarah Nusantara yang dikesampingkan selama konflik berkepanjangan harus dipelajari lagi , dan hubungan erat antara Kesultanan Aceh dengan Turki Usmani , Portugis , Inggris , dan Belanda harus dieksplorasi, terutama pada arsip-arsip Eropa oleh para-para ahli di bidang masing-masing. Hasil dari usaha itu semua terangkum dalam buku ini menjadi sumber-sumber yang paling lengkap selama ini mengenal sejarah Aceh.